Senin, 27 April 2020

Eufemisme dan Werkudoro




Werkudoro adalah sosok pahlawan dalam dunia wayang kulit yang aneh: ia tidak memiliki postur tubuh seorang ksatria pada umumnya, seperti postur tubuh Harjuna misalnya, tapi berpostur tubuh raksasa: tinggi besar, dengan suara menggelegar.

Yang juga menarik dari watak Werkudoro adalah: dia tidak bisa menggunakan bahasa Jawa yang halus, yang sangat ketat dalam hal tata krama dan unggah-ungguh. Dia hanya bisa menggunakan bahasa Jawa ngoko, yaitu bahasa Jawa kasar, bahasa Jawa dari tingkatannya yang paling rendah.

Tapi Werkudoro inilah, yang tidak pandai menggunakan bahasa dengan halus, yang menjadi pralambang kejujuran dalam dunia wayang kulit. Dia adalah sosok yang jujur dan satu-satunya tokoh wayang yang dikisahkan berani menyelami Samodera Minang Kalbu sampai ke dasarnya, dan bertemu dengan Guru Sucinya yaitu, Sang Hyang Dewa Ruci.

Yang menarik untuk diamati dari sosok Werkudoro ini adalah: nampaknya ada kontradiksi antara penggunaan bahasa yang halus dan lembut di satu sisi, dan kejujuran yang lugas di sisi lain. Dus, bahasa mungkin bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong, baik membohongi diri sendiri maupun membohongi publik.

Dalam ilmu bahasa misalnya, dikenal gaya bahasa eufemisme: yaitu gaya bahasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang lebih halus, sehingga tidak terdengar kasar atau jorok. Ketika seseorang mau ke WC misalnya, akan dianggap lebih sopan jika dia berkata, “Saya mau ke kamar kecil.” Bahasa Indonesia,
sebagaimana bahasa Jawa, adalah bahasa yang kaya dengan eufemisme semacam ini. Di masa lalu istilah pelacur dianggap terlalu kasar, sehingga disebut wanita tuna susila, gelandangan lebih ‘terhormat’ jika disebut tunawisma, dan orang yang kerjanya cuma luntang-lantung karena tidak punya pekerjaan disebut tunakarya. Begitulah dengan eufemisme, sesuatu yang sebenarnya kurang baik, bisa terdengar lebih sopan. Mungkin ini akan berguna dalam berinteraksi dengan orang lain: agar kita tidak menyinggung perasaannya.

Namun celakanya eufemisme ini bisa juga menjadi alat tipu-diri yang ampuh. Berikut ini adalah contoh yang saya amati dalam pemakaian bahasa Jawa sehari-hari: acara main (judi) di tempat orang punya gawe, misalnya, disebut sebagai tirakatan. Ketika anak-anak muda bergerombol dan mau cari minuman keras,
mereka menyebutnya golek anget-anget. Ketika kita mau utang duit, kita malu menyebutnya utang, tapi nyrempet. Ketika seorang anak bodoh di sekolah, dia disebut kendho. Ketika ada seorang pejabat desa yang mabuk dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh, dia dikatakan lagi kurang penak awake. Ketika seorang istri
yang sudah setengah umur dan mengajak seorang anak muda untuk berselingkuh, dia bilang: kanggo jamu…. Sedangkan di Solo ada juga sate jamu, yaitu rica-rica daging anjing.

Saya juga pernah mendengar seorang guru yang berkata: kalau guru di Indonesia itu telah dibohongi, mereka diberi gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Gelar yang sangat angker dan serem, tapi jika kesejahteraan tidak dipikirkan, apa disuruh makan gelar? Begitulah dia misuh-misuh. Ketika penggunaan bahasa telah menjadi sedemikian manipulatif-nya, mungkin kita perlu ingat sosok Arya Bima Sena atau Werkudoro yang tidak pandai menggunakan bahasa yang lembut dan halus, yang kata-katanya langsung dan lugas, tanpa tedeng
aling-aling. Memang kata-kata yang langsung dan lugas bisa jadi menyakitkan, sama menyakitkannya ketika mencabut sebutir peluru yang sudah terlanjur bersarang dalam tubuh… tapi bagaimanapun, itu jauh lebih baik daripada membiarkan peluru itu bersarang di sana.

Sudahkah kita menggunakan bahasa dengan ‘baik’ dan ‘benar’?

oleh yohanes sutopo