Rabu, 06 November 2019

Benarkah Kita Mencintai Bahasa Indonesia?

Sering kita dengar bahwa bahasa itu menunjukkan bangsa. Kebangsaan seseorang bisa dilihat melalui bahasanya. Kita bangsa Indonesia dengan bangga berbahasa Indonesia. Kita mengatakan bahwa kita mencintai Indonesia, termasuk bahasanya. Apalagi kita sebagai mahasiswa yang mempelajari bahasa Indonesia dan kelak akan mengajarkannya kepada orang lain. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah Benarkah kita mencintai bahasa Indonesia?

Ketika kita cinta kepada sesuatu, tentu kita akan berusaha untuk selalu memperhatikannya, merawatnya, menjaganya. Kita akan menempatkannya di tempat yang aman tidak terjamah oleh orang lain yang mungkin akan mengakibatkan kerusakan. Begitu juga ketika kita mencintai seseorang, kita akan berusaha menjaganya, menyayanginya, memperhatikannya. Kita akan menempatkannya di tempat yang ‘aman’ tidak diganggu orang lain. Tentu kita tidak akan rela jika orang yang kita cintai dirusak oleh orang lain. Itulah yang harus kita lalukan jika kita mencintai sesuatu atau seseorang.


Sama halnya ketika kita mencintai bahasa Indonesia. Kita mencintai bahasa Indonesia karena kita adalah orang Indonesia. Tak peduli kita mahasiswa program studi apa, fakultas apa. Tak peduli dosen, presiden, hakim mahkamah konstitusi, kuli bangunan, sastrawan, tukang becak atau apapun pekerjaannya, selama kita adalah warga negara Indonesia kita harus mencintai bahasa Indonesia. Seharusnya kita harus menjaga bahasa Indonesia sebagai milik bersama dari kerusakan.


Jika kita memang mencintai bahasa Indonesia, kita harus menjaga bahasa Indonesia agar tidak tercemar oleh bahasa lain, terutama bahasa asing. Memang kita akui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa ‘gado-gado’, bahasa asing bisa diserap ke dalam bahasa Indonesia ketika bahasa Indonesia sendiri tidak memiliki padanan kata yang dimaksud. Misalnya saja kata ‘television’ dari bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘televisi’. Hal ini dilakukan karena bahasa Indonesia tidak memiliki padanan untuk kata ‘television’.


Namun, bahasa Indonesia sekarang tercemar oleh bahasa asing yang yang menggantikan kedudukannya. Kita sedang membicarakan cinta, kita buat contoh dari kata ‘cinta’. Orang lebih suka menggunakan ‘love’ untuk mengambil alih peran kata ‘cinta’. Lihat saja di jalanan, spanduk, televisi, iklan di media cetak bahkan di baju mahasiswa yang –katanya- adalah mahasiswa bahasa Indonesia. ‘cinta’ telah dikudeta oleh ‘love’. Apakah kata ‘aku cinta …’ lebih hina dibandingkan ‘I love …’.


Apakah dengan menggunakan kata impor Inggris kita merasa lebih terhormat jika dibandingkan dengan menggunakan kata yang diproduksi dalam negeri ini? Jika jawabannya ‘iya’ maka hal ini menandakan bahwa kita masih belum mencintai bahasa Indonesia.


Mari kita mencintai bahasa Indonesia dengan sepenuh hati. Menjaganya, merawatnya serta melestarikannya. Bukan hanya alam yang perlu kita lestarikan, bahasa juga. Bahasa menunjukkan bangsa, setiap bangsa memiliki budaya. Budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah budaya yang tinggi. Bangsa yang memiliki budaya sopan santun dan adat ketimuran. Jika bahasa kita sudah tercemar, maka bukan tidak mungkin budaya kita juga sudah tercemar. Jika budaya sudah tercemar, maka kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia juga tercemar. Jangan lagi mengaku sebagai bangsa Indonesia jika tidak mau menjaga kemurnian bahasa Indonesia. Tidak lagi merupakan dari bangsa Indonesia orang yang mencemari bahasa Indonesia dengan bahasa asing.


Mari kita cintai bahasa Indonesia dengan sebenar-benarnya cinta. Tak perlu sok Inggris. Tapi bukan berarti kita tidak perlu belajar bahasa Inggris. Kita tetap harus belajar bahasa pergaulan dunia ini, tapi jangan sampai kita campur aduk jadi satu. Jangan sampai kita berbicara dengan sesama orang Indonesia, “I love Bahasa Indonesia” karena kalimat itu sama saja dengan orang yang mengatakan, “Jangan mengumpat, sialan! Anjing Kau!”(*)